Kapal Pinisi Sang Kapal Layar Kebanggaan Indonesia Berasal Dari Makassar

Kapal Pinisi Sang Kapal Layar Kebanggaan Indonesia Berasal Dari Makassar

Sebagai negara maritim, Indonesia punya kekuatan hebat di lautan. Salah satu saksi dari kejayaan kelautan Indonesia adalah kapal pinisi. Kapal layar yang termasuk ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, teknologinya masih bisa kita saksikan sampai saat ini.

Jika dilihat dari pengertiannya secara bahasa, kata pinisi mengacu pada jenis konfigurasi tiang pembawa layar yang digunakan oleh kapal ini. Satu buah pinisi yang disematkan di tubuh kapal, membawa tujuh sampai delapan layar pada dua buah tiang. 

Tidak seperti kebanyakan kapal layar barat, dua layar utama pada kapal pinisi tidak dibuka dengan menaikkan spar yang ditempelkan, tapi layarnya ditarik seperti tirai di sepanjang sekat yang dipasang di sekitar tengah tiang. Seperti halnya jenis kapal layar lain di Indonesia, istilah pinisi hanya merujuk pada jenis konfigurasi tiang layar. Namun tidak menggambarkan bentuk lambung kapalnya. 

Sejarah Kapal Pinisi.

Sejarah Kapal Pinisi
Lukisan Kapal Pinisi. Sumber: Flickr.

Pinisi adalah salah satu penakluk laut yang sangat legendaris dan terkenal di masanya. Masih fenomenal sampai hari ini, pinisi memiliki kisah yang panjang. Sejarahnya sudah dimulai dari seorang putra mahkota Kerajaan Luwu pada abad ke-14 yang bernama Sawerigading.

Menurut sejarah, kapal pinisi pertama dibuat dengan menggunakan kayu pohon dewata atau welengreng sebagai bahan bakunya. Pemilihan pohon ini konon bukan hanya karena kayunya yang kuat dan tidak mudah rusak, tapi karena ada kekuatan-kekuatan spiritual tak terlihat yang menjaganya. Sebelum pohon ditebang untuk membuat kapal, berbagai ritual adat dilakukan demi menjaga keselamatan.

Awalnya, kapal ini dibuat oleh sang putra mahkota untuk merebut hati seorang putri dari Kerajaan Tiongkok, We Cudai. Dengan menggunakan pinisi, Sawerigading berhasil sampai ke tanah asal sang pujaan dan mempersuntingnya. Setelah waktu berlalu, timbul keinginannya untuk pulang lagi ke kampung halaman. Sawerigading pun pulang dengan menggunakan kapal yang sama.

Sayangnya, saat perjalanannya kembali dari Tiongkok, kapalnya hancur dihantam gelombang besar tepat di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bulukumba. Kapalnya terbelah dan terdampar ke 3 daerah yakni Lemo-lemo, Tana Beru dan Ara. Dibantu oleh masyarakat lokal, Sawerigading kemudian menyusun kembali sisa-sisa kapalnya dan membuatnya jadi lebih besar. Kapal inilah yang kemudian kita kenal sebagai pinisi.

Peristiwa hancurnya kapal Sawerigading tidak hanya membuat Lemo-lemo, Ara dan Tana Beru sebagai tempat kelahiran kapal pinisi, tapi juga menjadi simbol gotong royong bagi penduduk setempat.

Selain kisah Sawerigading, ada beberapa versi lain yang mengungkap asal usul kapal pinisi. Ada yang menyebut bahwa nama pinisi berasal dari dua kata yakni picuru dan binisi yang artinya contoh baik dari kapal ikan kecil yang tangguh dan lincah. Kapal ini konon merupakan kepunyaan Raja Tallo, I Manyingrang Dg Makkilo.

Ada juga yang mengatakan bahwa nama pinisi sebenarnya berasal dari kata panisi atau mapanisi yang dalam bahasa Bugis berarti menyelipkan atau menyisipkan. Penyebutan ini merujuk pada proses pelapisan dempul yakni lopi dipanisi yang digunakan untuk membuat kapal.

Penyebutan awal istilan pinisi dalam sumber asing maupun sumber asli mengacu pada sebuah artikel yang diterbitkan tahun 1917 oleh Belanda Coloniale Studiën. Dalam artikel tersebut, pinisi disebut sebagai kapal dengan model sekunar bergaya kapal Eropa, Schooner sailing vessel.

Pada catatan sejarah, penggunaan anjungan depan dan belakang kapal tipe Eropa mulai digunakan oleh kapal-kapal asli Kepulauan Melayu pada abad ke-19. Menjelang abad ke-20, penggunaan layar pada kapal dari Sulawesi semakin banyak. Sampai pertengahan abad ke-20, pelaut Sulawesi sendiri masih menyebut kapal mereka dengan istilah palari yang mengacu pada jenis lambung tenaga penggerak untuk kapal pinisi.

Di abad ke-19, pelaut Sulawesi mulai menggabungkan anjungan tradisional dengan anjungan ala kapal barat. Dari sinilah pinisi berevolusi. Awalnya menggunakan model lambung dasar kapal padewakang dengan rig depan dan belakang sampai terbentuk model lambungnya sendiri dan rig pinisi seperti yang kita kenal sekarang.

Selama masa evolusi ini, para pelaut dan pembuat kapal Indonesia mengubah berbagai fitur di dalam kapal dan merombak modelnya dari sekunar model barat yang asli. Pinisi dari Sulawesi diperkirakan dibuat pertama kali pada tahun 1906 oleh pembuat kapal di Arad an Lemo-lemo. Mereka membangun pinisi pertama untuk seorang nakhoda Bira.

Tanah Kelahiran Kapal Pinisi.

ara-bulukumba-pembuat-kapal-pinisi
Ara, Bulukumba, Makassar. Sumber: Wikipedia.

Merujuk dari kisah sejarah pinisi, diketahui bahwa kapal ini berasal dari Tanah Bugis, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis sejak zaman dulu memang dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka berlayar mengarungi samudera tidak hanya di Nusantara, tapi juga lautan lain di berbagai belahan dunia. Salah satu rahasia di balik ketangguhan Suku Bugis di lautan adalah berkat kapal pinisi yang mereka miliki.

Sebelum mengenal pinisi, Suku Bugis dan orang-orang Makassar sempat berlayar menggunakan kapal padewakang. Mereka biasanya berlayar mencari teripang ke lautan yang agak jauh. Pada masa itu, para pelaut di Tanah Bugis bahkan bisa menjelajah sampai ke perairan di daerah utara Benua Australia. Tidak heran jika kepiawaian yang mereka miliki bisa melahirkan pinisi sebagai kapal yang masih digunakan sampai sekarang.

Proses pembuatan pinisi masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan tangan. Kapal beroda pinisi sebagian besar dibuat oleh orang Ara yang berbahasa Konjo, sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Bulukumba. Orang-orang di sana banyak menggunakannya sebagai kapal kargo. Sebelum terjadinya motorisasi transportasi perdagangan di Indonesia, pinisi merupakan kapal layar dengan ukuran paling besar di Indonesia.

Di tanah kelahiran kapal pinisi ini, layar yang dipasang memiliki makna filosofis tersendiri. Dua tiang layar utama yang dikembangkan, dilengkapi dengan tujuh buah layar. Tiga layar ditempatkan pada bagian paling ujung depan, sementara dia lagi di bagian depan kapal. Dua layar terakhir, berada di belakang kapal. Ketujuh layar itu menjadi simbol bahwa leluhur kita adalah pelaut-pelaut hebat yang mampu mengarungi tujuh samudera di berbagai belahan dunia.

Baca juga: Makanan khas Makassar yang wajib dicoba!

Teknik Pembuatan Kapal Khas Zaman Nenek Moyang.

Pembuatan Kapal Pinisi
Proses pembuatan Kapal Pinisi. Sumber: KapalPinisi.id

Pinisi mendapatkan gelar sebagai kapal ajaib bukan tanpa sebab. Proses pembuatannya yang dilakukan dengan penuh ketelitian oleh tenaga-tenaga ahli adalah salah satu alasannya. Untuk membuat satu kapal pinisi, dibutuhkan tenaga ahli sebanyak kurang lebih 10 orang. Ahli pembuat kapal yang disebut Sawi ini biasanya dipimpin oleh 1 orang punggawa.

Sebelum proses pembuatan kapal dimulai, masyarakat setempat akan melakukan ritual adat. Proses memilih kayu, menebang, perencanaan, pembuatan sampai berlayarnya kapal pertama kali harus diikuti dengan serangkaian upacara adat. Hal ini dimaksudkan agar kapal yang dibuat bisa berlayar sesuai dengan fungsinya sampai kayunya lapuk dan tidak bisa digunakan lagi. 

Proses pengumpulan kayu yang akan digunakan untuk membuat kapal juga harus dilakukan pada tanggal 5 dan tanggal 7 setiap bulannya. Angka 5 konon menjadi perlambang rezeki yang sudah ada dalam genggaman. Sementara tanggal 7 menjadi bentuk harapan bahwa rezeki akan selalu ada.

Kapal yang dibuat dengan ukuran antara 15 sampai 40 meter ini biasanya menggunakan bahan baku dari kayu jati, kayu mahoni atau kayu besi. Tidak seperti kapal biasanya yang pembuatannya dimulai dengan kerangka, pinisi dibuat dengan membangun badan kapalnya terlebih dahulu.

Keunikan yang dimiliki oleh pinisi adalah tidak ada satu pun paku besi yang dipakai untuk merakit. Agar setiap komponen kapal bisa bersatu, para Sawi menggunakan pasak kayu yang dibuat dari sisa-sisa pembuatan badan kapal. 

Selain itu, punggawa yang memimpin proses perakitan juga tidak menggunakan tulisan atau catatan. Semua cara dan teknik pembuatan kapal sudah dihafal di kepalanya dan akan diturunkan dari generasi ke generasi.

Durasi pembuatan kapal pinisi biasanya memakan waktu antara 1 sampai 2 tahun. Semakin besar ukuran kapal yang akan dibuat, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.

Pembuat Kapal Pinisi Sekarang.

Kapal Pinisi
Sumber: TravelingYuk.

Indonesia boleh berbangga memiliki pinisi. Di saat kapal lain dengan model sejenis tidak lagi diproduksi, pinisi masih terus dibuat sampai sekarang. Daerah yang terkenal dengan para perajin pinisi berada di Kelurahan Tana Lemo, Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Desa yang berada di pesisir pantai ini berjarak 187 kilometer dari Kota Makassar.

Salah satu pembuat Kapal Pinisi yang ada sekarang adalah Pinisi Ara, sebuah usaha pembuat kapal Pinisi yang berdiri sejak tahun 1967 di Ara, Makassar.

Tidak banyak yang berubah dari cara pembuatan kapal. Punggawa masih memimpin tim sawi tanpa catatan untuk merakit satu demi satu bagian kapal. Untuk satu kapal, biasanya perajin ini menghabiskan sampai 100 batang kayu besi. Dengan lama pembuatan sampai 2 tahun, satu buah kapal ini bisa terjual hingga miliaran rupiah. Pembelinya pun tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga sampai ke luar negeri seperti Jepang, Prancis dan Australia.

Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar, pemesan kapal sekarang juga bisa memilih desainnya sendiri. Kebanyakan kapal yang dipesan di Tana Lemo digunakan oleh turis asing untuk melakukan pelayaran jarak pendek seperti ke kawasan Labuan Bajo dan Raja Ampat.

Generasi Penerus Bangsa dan Kapal Pinisi Sekarang.

Kapal Pinisi
Megahnya Kapal Pinisi untuk Wisata. Sumber: Suara.com

Karena kebutuhan sudah berubah, penggunaan pinisi pun kini beralih. Lebih dari sekadar alat transportasi untuk nelayan dan pedagang, kapal ini menjadi salah satu daya tarik wisata. Sebagai warisan kebanggaan, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk terus melestarikannya adalah dengan terus menggunakan pinisi di perairan Indonesia.

Langkah ini didukung penuh oleh pemerintah. Dengan berbagai cara, kapal pinisi berhasil menjadi magnet bagi wisatawan luar negeri untuk datang berkunjung. Pada tahun 2019, warisan budaya ini mampu menyedot sampai 4 juta wisatawan. Tidak hanya untuk membawa penumpang dari satu tempat ke tempat lain, kapal pinisi kini juga bisa menjadi fasilitas bagi wisatawan yang ingin menggunakannya untuk memancing, menyelam bahkan bermalam.

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan generasi penerus bangsa agar pinisi tetap bisa berlayar di samudera. Hal tersebut antara lain:

  • Membuat kejelasan mengenai pengelompokan kapal ini karena posisinya bukan hanya sebagai alat pengangkut melainkan media untuk pelesiran
  • Awak yang disertakan dalam kapal wisata harus memiliki Certificate of Competency (COC) dan Certification of Proficiency (COF). Tujuannya adalah agar aktivitas operasional selama di atas kapal berjalan sesuai standar yang berlaku secara global
  • Perlu adanya pedoman mengenai tenaga kerja yang bekerja di kapal pinisi

Selain itu, langkah promosi melalui situs dan media sosial juga perlu digalakkan lagi. Terlebih saat ini pengaruh internet sudah sangat luas. Ini bisa menjadi langkah yang strategis untuk menyebarluaskan pinisi sebagai kapal warisan budaya yang menyenangkan digunakan untuk berwisata.

Meski saat ini sudah tersedia, namun kita masih perlu lebih banyak lagi paket wisata yang menggunakan pinisi sebagai daya tariknya. Salah satu penyedia layanan wisata dengan pinisi adalah PT Pelita Indonesia Djaja. Dengan menggunakan pinisi bernama Arunika, perusahaan merupakan anak perusahaan PT. Pelni ini siap membawa penumpang mengarungi Perairan Barat Flores.

Wisata dengan pinisi bukan hanya cara untuk terus melestarikan keberadaan kapal ini, tetapi juga untuk mengukuhkan posisi Indonesia sebagai tujuan wisata bahari yang menakjubkan. Tidak hanya di Bulukumba, keberadaan kapal pinisi untuk wisata kini sudah merambah ke berbagai daerah wisata seperti Nusa Penida di Bali, Raja Ampat, bahkan sampai ke Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dengan tarif di bawah kapal pesiar konvensional, berlayar dengan pinisi tentu akan memberikan kesan dan kebanggaan tersendiri.